Friday, June 22, 2007

Bis Trans Jakarta...angkutan mewah yang murah bagi yang betah berjejalan

Akhirnya saya berterima kasih juga dengan Bang Yos, Gubernur DKI yang bakal lengser dan digantikan oleh wakilnya.

Waktu pertama kali moda angkutan massal ini masih dalam proses persiapan untuk pelayanan transportasi publik, terus terang saya merasa terganggu. Pohon-pohon rindang ditebangi untuk pembuatan halte, jalan dipersempit karena dikurangi dengan pembuatan lajur khusus yang tidak boleh dilintasi kendaraan lain (membuat kemacetan makin parah di mana-mana).

Tapi sesudah akhirnya tepat di depan kantor saya (saat itu masih di Plaza Kuningan, Jln. HR Rasuna Said Kav C11-14, Jakarta Selatan) dibangun halte busway, justru Trans Jakarta yang menjadi andalan saya untuk pergi pulang dari rumah.

Tanggal 29 Januari 2007, beberapa hari setelah diresmikan oleh Sutiyoso, saya dan Ratih (http://profiles.friendster.com/14384642) pertama kali menumpang angkutan ini. Saat itu pukul 8 malam, biasanya kami pulang berdua patungan naik taksi (Ratih tinggal di Utan Kayu, beberapa ratus meter dari rumah saya di Kayumanis). Rasa ingin tahu membuat kami membeli tiket, lalu duduk manis di halte yang sepi menunggu bis Koridor VI. Hanya ada beberapa penumpang yang lain, termasuk seorang om-om yang ganteng dan necis...*ehem*

Tanya punya tanya, ternyata Si Om sudah menunggu selama SATU JAM! Oh my goodness, saya dan Ratih langsung saling berpandangan, "Haruskah kita menunggu selama itu? Mendingan naik taksi as usual kali ye...secara udah capek. Tapi duit tiket berdua Rp.7000 jadinya hangus dong?"

Ternyata kami hanya menunggu kurang dari 15 menit saja. Bisnya datang, kosong, saya dan Ratih bisa duduk dengan nyaman *lalu foto-foto, teteup....*

Kenyamanan kami hanya bertahan dua malam saja, berikutnya mulai banyak warga Jakarta yang berkantor di sepanjang Jln. HR Rasuna Said yang tertarik memanfaatkan busway. Maka kami pun hampir dipastikan harus berdiri bergantungan hingga tiba di halte Halimun untuk pindah ke Koridor IV ke jurusan Pulo Gadung.

Di halte transit itu pun belakangan tidak kalah sengsaranya. Pernah terjadi saya (waktu itu seorang diri karena Ratih harus pulang belakangan) SATU JAM berdiri berdesak-desakan di sana menunggu bis yang tak kunjung datang mengangkut penumpang. Beberapa kali ada yang lewat, tapi tidak berhenti dengan alasan "isi BBG". Massa mulai gelisah, beberapa menyumpah-serapahi petugas dan SATPAM yang sedang bertugas, ada yang menggoncang-goncangkan pintu kaca hingga hampir rontok.

Akhirnya saya pun jarang bisa menikmati kemewahan bis kota yang semuanya masih gres dan AC-nya OK ini. Memang murah sekali, Rp.3,500 untuk perjalanan jauh-dekat yang lancar melintas di jalur khusus saat kendaraan lain terjebak macet. Kalau memang betah (dan cukup kuat secara fisik), menumpang busway adalah pilihan sarana transportasi yang paling menarik. Kemungkinan besar harus berjejalan dan bergantungan gitu lho...

Semoga masyarakat semakin mengurangi pemakaian kendaraan pribadi dan beralih menggunakan Trans Jakarta sebisa mungkin...tentu saja dibarengi itikad pemerintah DKI untuk menambah armada dan pengaturan trayek untuk menghindari penumpukan penumpang di halte-halte tertentu pada jam-jam sibuk.

Suka duka tinggal di pemukiman padat di Jakarta

Saat ini saya tinggal di Kelurahan Kayumanis, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur, lokasi yang termasuk pemukiman padat, tercatat sebagai "wilayah merah" penyakit demam berdarah. Sanitasi lingkungannya buruk, banyak tempat tinggal penduduk (kebanyakan hanya berupa kamar yang langsung menghadap ke gang sempit) dibuat tanpa fasilitas MCK dan dapur yang memadai.

Bisa saja ada "penampakan" anak kecil sedang buang air besar *maaf* di got, sementara tidak berapa jauh (masih di atas aliran got yang sama) ada ibu-ibu yang sedang memasak sekadar penganan untuk kebutuhan keluarganya maupun untuk dijual. Bergeser sedikit, ada yang sedang mencuci pakaian memanfaatkan fasilitas umum berupa sumber air sumur berpompa tangan .

Alhamdulillah keluarga saya beruntung bisa mendapatkan rumah kontrakan, benar-benar "rumah". Ada dua kamar tidur ukuran 2,5m x 3m, satu kamar pembantu ukuran 2m x 2m, dapur yang memadai dengan basin pencuci piring, kamar mandi yang lumayan bersih dengan sumber air dari PAM Jaya. Tarifnya tidak begitu mahal, hanya Rp.7,000,000 pertahun saja, itu pun sudah naik (tahun 2004/2005 dan 2005/2006 = Rp.6,000,000 lalu naik menjadi Rp.6,500,000 tahun 2006/2007 lalu).

Seringkali terjadi, begitu kecilnya tempat tinggal sehingga orang tua tidak punya tempat tidur terpisah dari anak-anak. Jadilah (mungkin) hubungan suami istri tidak sepenuhnya tersembunyi, tidak heran banyak kasus hubungan seks pra-nikah di daerah ini. Di atas pukul 8 malam, banyak remaja (kebanyakan putus sekolah) nongkrong di sekitar rumah saya dengan dandanan "menarik". Yang putri hampir pasti mengenakan hipster dan baju ketat, semuanya rata-rata membawa ponsel model paling rendy (lengkap dengan kamera buat saling mengabadikan diri).

Sebelum ada wabah flu burung, banyak penduduk memelihara merpati untuk diadu. Tempat minumnya pun menjadi genangan potensial untuk tumbuhnya jentik-jentik nyamuk. Untungnya sekarang sudah ditertibkan.

Jika bisa memilih, ingin saya meninggalkan daerah ini dan menempati rumah milik sendiri di cluster yang lebih tertata di Telaga Kahuripan, Parung. Sayangnya, tinggal di Kayumanis sementara ini saya hitung-hitung lebih efisien dan ekonomis. Ongkos pulang-pergi ke kantor cukup Rp.7,000 per hari dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Sementara dari Parung, ongkos sekali jalan minimal Rp.13,000 (bisa mencapai Rp.28,000 per hari ongkos pergi pulang jika terpaksa naik ojek) dan perjalanan hampir dua jam.

Beginilah nasib kaum urban Jakarta yang masih belum masuk kalangan "mapan"...