Tiga puluh karung nasi aking buat di kampung...
Siang tadi kereta api "ke Jawa" tidak biasanya berhenti di stasiun kecil dekat rumah kami, Stasiun Pondok Jati.
Seorang ibu (kelihatannya adalah "Sang Juragan"), mengacungkan sejumput uang kepada Pak Masinis ketika kereta jalannya melamban. Dalam dua-tiga puluh detik, beberapa lelaki sigap selesai mengangkat tiga puluh karung berisi nasi naik ke atas kereta, lalu perjalanan si kuda besi pun dilanjutkan.
Nasi? Iya, nasi. Bukan beras.
Nasi yang sudah kering, akan diolah menjadi nasi aking. Sisa makanan masyarakat kota, semoga dikirim ke kampung buat dijadikan makanan ternak, bukan untuk dijadikan pengganjal lapar bagi rakyat Indonesia nun jauh di pelosok sana.
Saya yakin bahwa sanak saudara kita di kampung masih bisa makan beras, paling tidak, yang ditanam di kampung halaman sendiri. Iya khan, Om Iyoes?
PS. Stasiun Pondok Jati terletak di daerah Matraman, antara Stasiun Jatinegara dan Stasiun Kramat - Jakarta Timur.
Gambar diambil dari Media Indonesia.
6 Comments:
lah kok nanya nya ama ane sih jeng ?? la mbok pertanyaannya dikirim ke dinas sosial aja,... hehehe..
Wah, baca judulnya yang provokatip dan stereotip rasanya pengen nyetip deh des.... kenapa juga ga ditanya si mbok2 nya sekalian, kan desi sudah biasa jadi wartawati, kan jadi tau tuh kemana dibawa dan buat apa ... klo nasi aking sih masih mending deh des, yang biadab itu, daging sisa restoran yang dimasak dulu trus dijual di umum... ah negriku....
Khan Om Iyoes pernah nulis di milis Alumni FTUI, bahwa yang merasa "krisis ekonomi" itu hanya orang-orang di kota. Hanya orang-orang yang pegang saham yang nilainya rontok semua...
Makanya agak takjub juga melihat di depan mata sendiri "proses pengiriman" itu. Gila ya...sebanyak itu "sampah" masa' akan dijejalkan ke perut manusia sih? Emang di kampung udah nggak ada lagi nasi sisa? Kok jauh-jauh "impor" dari Jakarta sih?
Ah sedihnya...
hahaha.... itu too....
emang kenyataan nya gitu des... yang merasa krisis itu cuman orang kota, pengalaman yang lebih buruk di tahun 98, yang teraik2 cuman yang di kota aja, saya yang kerjanya di kampung dan menyaksikan sendiri, mereka adem2 aja kok.... seperti biasa, harga naik ya nurut, ..
meneurut saya sih, nasi aking itu bukan efek dari dampak krisi global sekarang ini des, saya yakin sekali bahwa itu udah terbentuk lama, dan uuntuk daerah yang harusnya diperhatikan oleh pemerintah. Desi kan aktif di KAPA, bikin expedisi dong, cari kemana tuh nasi aking di sebar, trus blow up di koran
Klo masih ga percaya, kapan liburan ngilmunya... yuk kita jalan2 ke pelosok jawa...
fiuhh..sy kira bwt dmkn manusia mbak...:( sedihnya
kalaupun ada yang makan nasi aking,
yakin deh tak bakal diliput media.
luput dari perhatian.
jadi, mana publik pada tahu bahwa masih ada beberapa orang yang masih hidup di bawah layak?
...bukannya nggak tahu, Maz Wahid. Saya pikir lebih tepat disebut "nggak peduli". Hari gini, kayaknya orang-orang pada menyelamatkan diri sendiri aja deh.
Saya sudah tahu sejak lama, bahwa banyak yang makan nasi aking di daerah-daerah yang berkekurangan, namun selama ini selalu menganggapnya "cuma angka, cuma fakta, cuma statistik"...sampai tiga puluh karung itu (masing-masing seukuran ransel 90 liter) saya lihat dengan mata kepala sendiri...lalu perut terasa sakit membayangkan seandainya hanya ada nasi aking sebanyak itu yang bisa saya cerna...
*salam kenal*
Post a Comment
<< Home